Friday, August 25, 2017

Pengertian Konsili Buddhis

0 comments

Pengertian Konsili Buddhis

Konsili Buddhis dalam bahasa Pali dikenal sebagai Saṅgiti atau Saṅgāyanā. Kata Saṅgiti dan Saṅgāyanā sebenarnya berasal dari kata saṃ + gāyati= saṅgāyati yang berarti mengulang bersama-sama. Dalam kamus PTS, saṅgāyati diterjemahkan sebagai menyanyikan, menyatakan, mendengarkan kembali, atau menetapkan teks-teks dalam kitab Buddhis. Oleh karena itu Saṅgiti diinterpretasikan sebagai pernyataan, pengulangan, pertemuan para bhikkhu untuk menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan tentang ajaran dan menetapkan teks-teks dalam kitab suci (EOB. VII. p. 720).

Sebenarnya konsep konsili bisa dilacak dalam kanon Pāli yang diperkenalkan oleh Sang Buddha sendiri. Beliau menginginkan persatuan kelompok (samagga parisā) bukan perpecahan kelompok (vagga parisā). Itulah mengapa beliau selalu meminta para bhikkhu untuk mengulang Dhamma dan Vinaya bersama-sama untuk mengindari ketidaksepakatan dan argumentasi (saṅgayitabbaṃ, na vivaditabbaṃ).

Dalam Pāsādika Sutta maupun Sangīti Sutta melaporkan tentang perselisihan di anatara pengikut Nigaṇṭha Nātaputta, Mahāvira, setelah gurunya meninggal. Mereka saling menyalahkan satu sama lain dan berpegang tegung pada pandangan diri sendiri sebagai yang paling benar. Dalam Pāsādika Sutta¸Sang Buddha kemudian menjelaskan tentang kualifikasi dari guru yang baik dan ajarannya. Di sini Buddha berkata kepada Bhikkhu Cunda demikian:

“Oleh karena itu, Cunda, kepada kalian semua yang kuajarkan kebenaran yang telah kucapai melalui pengetahuan super, harus berkumpul dan membacakannya, menentukan makna dari makna, dan ungkapan dari ungkapan, tanpa perselisihan, dengan tujuan agar kehidupan suci ini dapat berlanjut dan bertahan dalam waktu yang lama demi manfaat dan kebahagiaan banyak makhluk, demi belas kasihan terhadap dunia, dan demi manfaat, keuntungan, dan kebahagiaan para dewa dan manusia (D. III. 128).”

Dalam kalimat paragraf di atas kita melihat bagaimana Sang Buddha menyuruh para bhikkhu untuk berkumpul bersama dan membacakan poin-poin Dhamma dari segi makna dan ungkapan untuk menghidari perselisihan dan agar kehidupan suci bisa bertahan lebih lama.
Kata saṅgayitabbaṃ (seharusnya mengulang) juga digunakan oleh Bhikkhu Sariputta untuk mengajak para bhikkhu yang lain untuk mengulang poin-poin penting Dhamma yang telah diajarakan oleh Sang Buddha secara sistematis yang dikenal sebagai Sangīti Sutta. Kata Saṅgīti menjadi populer setelah kata ini digunakan dalam Kanon Pali maupun kitab-kitab komentarnya, dan juga dalam catatan-catatan sejarah Sri Lanka, untuk menjelaskan konsili.

Mengomentari Sangīti Sutta, Bhikkhu Buddhaghosa mengatakan bahwa ini harus diulang serentak (samaggehi), dengan satu suara (ekavacanehi), tidak dengan kata-kata yang sumbang atau bertentangan (aviruddha-vacanehi). Di sana harus tidak ada perselisihan atau percekcokan berkenaan dengan isi (vyañjane vā na vivādo kātabbo DA. III. 1974). Sementara dalam kontek Pāsādika Sutta, Bhikkhu Buddhaghosa mengomentari bahwa kata dengan kata, arti dengan arti, harus dibawa bersama-sama dan diletakkan bersama-sama (samānentehi. Ibid. 911). Pada intinya ini menunjukkan bahwa Sangīti bukan hanya untuk pengulangan, tetapi juga untuk menghalau ketidakserasian isi teks yang mereka ulang.
Yang perlu diperhatikan di sini, apa yang kita sebut sebagai Sangīti atau konsili, bukan hanya mengulang Tipitaka yang dilakukan oleh satu orang bhikkhu. Tetapi Tipitaka harus diulang secara bersama-sama.
Konsep mengulang ajaran-ajaran Sang Buddha sebenarnya juga sudah berlangsung sejak Sang Buddha masih hidup. Pada zaman itu, para bhikkhu mengingat baik-baik apa yang telah diajarkan oleh Sang Buddha dan mengulangnya kembali. Waktu itu semua ajaran Sang Buddha belum dituliskan ke dalam bentuk tulisan, sehingga pengulangan Dhamma dan vinaya adalah cara terbaik untuk belajar Dhamma dan mengingatnya.

Oleh sebab itu, tidaklah salah jika kata bahusutta (telah banyak mendengar), digunakan untuk menjuluki orang yang pandai. Waktu itu belum ada istilah kutu buku untuk menjuluki orang yang berpengetahuan karena cara belajar mereka adalah dengan mendengar, bukan membaca buku. Semakin banyak mendengar maka semakin banyak pula apa yang diketahuinya.
Pengulangan-pengulangan ajaran Buddha sepertinya tidak hanya dilakukan oleh para bhikkhu. Terdapat indikasi bahwa umat awam juga mengingat baik-baik apa yang telah ia dengar dari Sang Buddha. Salah satu contohnya adalah umat awam perempuan yang bernama Khujuttarā. Dia adalah pembantu dari Ratu Sāmāvati, istri dari Raja Udena. Dikatakan setelah ia menjadi Pemasuk Arus setelah mendengarkan khotbah Sang Buddha, ia sering pergi ke Vihara untuk mendengarkan khotbah Sang Buddha dan akhirnya mengulangnya kembali di hadapan para wanita di istana. Kumpulan dari pengulangan-pengulangan Dhamma yang ia sampaikan akhinya dikumpulkan menjadi satu buku yang disebut Itivuttaka, di Khuddaka Nikāya.

Jadi kegiatan konsili sangatlah bermanfaat karena dengan diadakannya konsili, perselisihan yang muncul mengenai Dhamma dan Vinaya dapat segera diatasi dan akhinya pengulangan Dhamma dan Vinaya menjadi sarana untuk mengingatkan kembali ajaran-ajaran Buddha.

No comments:

Post a Comment