Sunday, November 19, 2017

Mengkaji Kesusastraan dalam Perspektif Buddhis

0 comments

Mengkaji Kesusastraan dalam Perspektif Buddhis

Sastra dan puisi dikenal sebagai karya tulis yang memiliki nilai estetika yang tinggi. Tidak heran banyak pecinta buku memilih membaca karya-karya sastra, novel, atau puisi. Tulisan-tulisannya dibungkus dengan menarik, membuat pembaca betah untuk tetap membaca. Terkadang tulisan-tulisannya bisa membuat pembaca tersenyum-senyum sendiri. 

Ada beberapa poin yang perlu diketahui dalam mengkaji sastra. Tradisi barat menekankan tiga poin, yaitu: bahasa, kreativitas, dan realitas. Teknik ini disebut sebagai pengkajian praktis (bhavita vicara). Bahasa dipertimbangkan sebagai poin penting untuk dikaji, karena melalui bahasalah karya tulis bisa sampai di tangan pembaca. Penulis bisa menularkan gagasannya melalui bahasa yang digunakannya. Semakin indah bahasa yang digunakan, semakin indah pula karya tulisnya. 

Selain itu, kreativitas juga ditekankan. Bahasa yang indah saja ternyata tidak cukup. Penulis juga harus pandai merangkai kata untuk menciptakan seni dalam tulisan. Ambil contoh ketika ada sepasang kekasih yang ingin berpisah karena sang lelaki ingin pergi ke luar negeri. Sebagai responnya, kekasih wanita menolak. Jawaban yang tanpa kreativitas bisa berupa ‘Jangan pergi. Aku bisa mati.” Dan jawaban yang dikemas dengan kreativitas bisa berupa ‘Kamu boleh pergi, tapi ini mungkin harapan terakhirku. Semoga aku dilahirkan kembali di tempat di mana kamu berada.” 

Yang ketiga adalah realitas. Karya tulis yang bagus harus mampu membawa pembaca menuju kenyataan. Karya tulis harus mampu membuat otak dan hati berkembang. Mengembangkan otak berarti mengembangkan pengetahuan dan mengembangkan hati berarti mengembangkan perasaan. 

Dalam tradisi timur, ada tujuh poin yang ditekankan:
Rasavāda (rasa)
Alaṅkāravāda (hiasan)
Rītivāda (gaya)
Dhvanivāda (saran)
Aucityavāda (kemampuan)
Vakrotivāda (makna tak langsung)
Sebuah karya tulis indah harus memiliki enam unsur-unsur tersebut. Karya tulis tanpa rasa dan hiasan akan terasa hambar untuk dibaca dan membuat pembaca enggan melanjutkan membacanya. Puisi tanpa unsur-unsur tersebut hanyalah kosong. 

Terus bagaimana menurut Buddhis? 
Saya mengaku mencintai tulisan-tulisan sastra dan puisi. Dan saya senang membacanya di waktu-waktu luang. Menurutku, tidak ada yang salah apabila seorang samana mencintai karya-karya sastra. Bahkan Buddha sendiri adalah sastrawan yang luar biasa. Beliau memiliki kemampuan yang luar biasa di bidang sastra. Beliau menguasai kitab kuno Veda (tiṇṇaṃ vedānaṃ pāragū). Menguasai banyak kosakata (sanighaṇḍu), seni berpuisi (keṭubhānaṃ), linguistik (sākkharappabhedānaṃ), sejarah (itihāsapañcamānaṃ). Beliau juga menguasai mantra-mantra (mantadharo), syair-syair (padako) dan tata bahasa (veyyākaraṇo).

Ketika seseorang bertanya kepadanya dengan menggunakan syair, beliau juga menjawabnya dengan menggunakan syair. Ketika seseorang bertanya dengan menggunakan prosa, beliau juga menggunakan prosa. Beliau juga seorang pemerhati bahasa. Oleh karenanya beliau mengutus murid-muridnya untuk membabarkan Dhamma yang indah pada awalnya (ādikalyāṇaṃ), pertengahan (majjhekalyāṇaṃ), dan akhir (pariyosānakalyāṇaṃ), berserta arti (sātthaṃ) dan makna simboliknya (sabyañjanaṃ). 

Beliau menguasai berbagai bahasa dan tidak memperdebatkan penggunaanya. Kata mangkuk bisa saja muncul dengan berbagai bahasa seperti pāti, patta, vittha, sarāva, dhāropa, poṇa dan pisīla. Dalam membabarkan Dhamma, Buddha seringkali menggunakan perumpamaan (ūpama) dan kiasan (rūpaka), karena beliau tahu bahwa dengan cara ini ajarannya akan mudah dipahami. Dan terkadang sastra yang beliau gunakan begitu tinggi sehingga membuat pendengarnya harus memikirkan maknanya. Contohnya: ‘Potonglah hutan, tapi jangan pohonnya (Vanaṃ chindatha mā rukkhaṃ).’ Maksudnya supaya memotong hutan kekotoran batin, bukan hutan dengan tanamannya. 

No comments:

Post a Comment