Saturday, November 25, 2017

Relevansi Konsep Bahagia Menurut Prof. Hasanudin Abdurakhman dengan Sutta

0 comments

Relevansi Konsep Bahagia Menurut Prof. Hasanudin Abdurakhman dengan Sutta

Kuncinya bukan jalan yang kita tempuh, atau sampai atau tidaknya kita di sana. Kuncinya adalah kita merasa bahagia atau tidak.
(Prof. Hasanudin Abdurakhman)

Konsep kebahagiaan adalah topik yang sudah sering dikaji oleh banyak cendekiawan, agamawan, dan sastrawan. Para cendekiawan memandang kebahagiaan dari sudut ilmu pengetahuan. Para agamawan memandang kebahagiaan dari sudut pesan-pesan yang diajarkan di dalam agama yang mereka anut. Demikian pula para sastrawan mencoba memandang kebahagiaan dari sudut sastra, estetika, dan sentuhan bahasa. Kebahagiaan masih menjadi polemik karena begitu banyak definisi dari sudut-sudut pandang yang berbeda. Prof. Hasanudin Abdurakhman rupanya memiliki sudut pandang yang menarik tentang kebahagiaan. Dia telah mencoba menjelaskan arti kebahagiaan dari sudut pandang ilmu pengetahuan, agama, dan juga sastra.

Dari sudut pandang pengetahuan, dia mengatakan:
“Bahagia itu soal hormon-hormon yang membuat kita nyaman, seperti dopamine, exytosin, endorphins, serotanin, dan lain-lain. Kebiasaan-kebiasaan gerak dan pikir kita memicu terbentuknya hormon-hormon itu.”

Dari sudut pandang agama, terutama kalau dilihat dari perspektif Buddhis, dia mengatakan:
“Kuncinya adalah pada pikiran. Kita bisa bahagia hanya dengan melihat matahari terbit. Atau cukup pejamkan mata menikmati kesunyian. Jalan untuk bahagia bisa apa saja. Artinya sebenarnya jalan itu tidak diperlukan. Cukup kita pilih keadaan batin kita, untuk masuk pada keadaan bahagia.”

Dari sudut pandang sastra tentu dia bukan orang yang buta bahasa. Dia mampu menguraikan sudut pandangnya mengenai kebahagiaan dengan bahasa yang enak di baca dan mudah dipahami. Menurutnya:
“Ingat, tidak ada jalan yang membawamu kepada kebahagiaan. Kebahagiaan adalah kamu. Tinggal kamu mau menjadi bahagia atau tidak.”

Pembahasannya sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut. Kita menemukan beberapa relevansi sudut pandang kebahagiaan menurutnya dengan sudut pandang kebahagiaan menurut Buddhisme. Akan menjadi semakin menarik apabila kita dapat menunjukkan relevansi pokok-pokok pembahasannya dengan pokok-pokok yang terdapat dalam sutta-sutta menurut sudut pandang Buddhisme.
Relevansi Konsep Bahagia Menurut Prof. Hasanudin Abdurakhman dengan Sutta

Kebahagiaan dalam teks-teks Buddhis biasanya diutarakan dengan kata ‘Sukha.’ Kita menemukan banyak kesamaan antara konsep bahagian menurut Prof. Hasanudin Abdurakhman dengan gagasan-gagasan yang terdapat dalam sutta-sutta. Menurut Prof. Hasanudin, kebahagiaan kuncinya terletak pada pikiran. Buddhisme sangat menyetujui gagasan itu. Dalam kitab Dhammapada, Buddha mengatakan:

“Manopubbaṅgamā dhammā, manoseṭṭhā manomayā.”
“Pikiran adalah pendahulu dari segala bentuk-bentuk pikiran. Pikiran adalah pemimpin.”
(Dhammapada, Yamakavagga, 1-2)

Menurut Buddhis, pikiran berperan penting atas segala sesuatu. Pikiran bekerja sebagai pendahulu sekaligus pemimpin. Dengan pikiran seseorang bisa menentukan arah, pilih bahagia atau menderita; pilih berbuat jahat atau berbuat baik. 

Sebenarnya menurut Buddhis, kebahagiaan dan penderitaan adalah reaksi dari pikiran itu sendiri. Seseorang bahagia karena pikirannya mengijinkannya bahagia. Seseorang menderita karena ia mengarahkan pikirannya untuk menderita. Ini sangat bersesuaian dengan apa yang telah diuraikan oleh Prof. Hasanudin. 

Dalam Buddhisme, konsep kebahagiaan tidak tergantung pada makhluk luar. Kebahagiaan ada di dalam diri sendiri. Kalau seseorang ingin bahagia, ia tak perlu mencari keluar. Tinggal ijinkan dirinya sendiri bahagia. Yang di luar menurut Buddhis bukanlah penentu kebahagiaan, tapi hanya sekadar objek. Karena objek sifatnya netral, maka sebagai subjek, seseorang perlu mengatur pikirannya sendiri untuk bahagia. Diri sendiri adalah penentu kebahagiaannya sendiri. 

Prof. Hasanudin telah memberikan penggambaran yang menarik. Kesalahan mengapa kita tidak bahagia adalah karena kita sering kali tak sangguh mengendalikan pikiran kita sendiri. Pikiran kita di kendalikan oleh orang lain, atau dikendalikan oleh iklim di sekitar kita. Kita serahkan remote control hidup kita kepada pihak lain. Kita sibuk mencari-cari tombol bahagia dalam hidup kita, tak kunjung ketemu. Padahal tombol itu ada di tangan kita, dan kita tidak menekannya. Kita berharap orang lain menekannya. Kita berharap cuaca menekannya. Atau Tuhan yang menekannya. 

Buddhisme juga memandang seperti itu. Orang-orang sibuk mencari kebahagiaan di sana sini, padahal kebahagiaan bukan terletak di sana atau di mana. Kebahagiaan adalah bentukan batin sendiri. Seseorang bisa bahagia di mana saja, kapan saja, dan karena alasan apa saja. Bahkan tanpa sebuah alasan atau objek luar, seseorang boleh saja bahagia. Karena bahagia bukan sesuatu, bukan mendapatkan, bukan karena menjadi, tapi karena respon pikiran sendiri. 

Menikah, punya anak, sukses, kaya, terkenal sering kali disalah artikan sebagai kebahagiaan. Padahal sama sekali tidak. Mereka bahagia karena mereka mengijinkan batinnya bahagia atas objek-objek luar tersebut. Namun, ternyata banyak juga yang menderita setelah menikah, punya anak, sukses, kaya, atau terkenal. Pada intinya bukan karena objek luar yang membuat seseorang bahagia, tetapi karena pikirannya sendiri. 

No comments:

Post a Comment