Manusia pada umumnya lebih mudah melihat keburukan orang lain daripada kebaikannya. Keburukan sekecil apapun itu rata-rata lebih kelihatan meskipun sebenarnya ada kebaikan yang lebih banyak. Seperti bercak noda yang berada di lembaran kertas putih lebih memikat mata untuk dikomentari buruk meskipun yang masih bersih lebih banyak. Ada kecenderungan melihat keburukannya daripada melihat kebaikannya.
Buddha berkata, “Sungguh mudah memang melihat kesalahan orang lain daripada kesalahannya sendiri (sudassaṃ vajjaṃ aññesaṃ, attano pana duddasaṃ).” Kesalahan-kesalahan orang lain akan terlihat semakin jelas apabila didorong dengan rasa tidak suka. Jadi, apapun yang orang lain lakukan, akan tetap dianggap salah bagi orang yang tidak menyukainya. Ketidaksukaan ini mendorong seseorang untuk mencari-cari kesalahan orang lain.
Ada sebuah pepatah menarik mengenai hal ini. Di Lokanīti, dikatakan sebagai berikut;
''Tilamattaṃ paresañca, appadosañca passati;
Nāḷikerampi sadosaṃ, khalajāto na passati.''
Orang buruk memerhatikan kesalahan orang lain, meskipun sekecil biji wijen. Tapi kesalahan sendiri, meskipun sebesar buah kelapa, tidak dapat melihatnya.
Pernyataan yang sama juga muncul dalam Sloka Sansekerta. Dalam Subhāsita, dikatakan, ''khalah sarsapamātrāṇi, paracchidrāṇi pasyati. Ātmano bilvamātrāṇi, pasyann api na pasyati.'
Ada sebuah pepatah menarik mengenai hal ini. Di Lokanīti, dikatakan sebagai berikut;
''Tilamattaṃ paresañca, appadosañca passati;
Nāḷikerampi sadosaṃ, khalajāto na passati.''
Orang buruk memerhatikan kesalahan orang lain, meskipun sekecil biji wijen. Tapi kesalahan sendiri, meskipun sebesar buah kelapa, tidak dapat melihatnya.
Pernyataan yang sama juga muncul dalam Sloka Sansekerta. Dalam Subhāsita, dikatakan, ''khalah sarsapamātrāṇi, paracchidrāṇi pasyati. Ātmano bilvamātrāṇi, pasyann api na pasyati.'
Ada peribahasa Indonesiq yang cukup populer menyebutkan, “Semut di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata tak tampak.” Peribahasa ini menyampaikan arti bahwa kesalahan-kesalahan yang dilakukan orang lain jauh lebih kelihatan daripada kesalahan-kesalahannya sendiri. Sikap menilai kesalahan orang lain daripada kesalahan diri sendiri ini sangat berbahaya bila tidak dikontrol. Ini berdampak pada psikologis seseorang untuk menjadi merasa paling benar sendiri.
Salah satu cara mengikis kebiasaan buruk ini adalah dengan introspeksi diri atau melihat diri sendiri. Introspeksi diri ini dinilai mampu mengurangi dorongan menyalahkan orang lain karena ketika seseorang melihat dirinya sendiri ia akan sadar bahwa dirinya sendiri juga tidak luput dari kesalahan. Ia akan menjadikan keburukan orang lain sebagai pelajaran untuk tidak menjadi seperti itu.
Dalam bahasa Jawa ada peribahasa “Ngilo githoke dewe,” yang berarti “Bercermin pada punggungnya sendiri.” Peribahasa ini mengajarkan kita bahwa kita semestinya bercermin pada diri sendiri terlebih dahulu sebelum menyalahkan orang lain. Apa yang kita lihat terkadang bukan keadaan yang sesungguhnya. Kita mungkin hanya melihat pada satu kejadian dan kita tak pernah berada di posisi mereka.
Manusia memiliki dua sisi yang tak bisa dipisahkan, sisi baik dan buruk. Kalau kita hanya melihat sisi buruknya saja, kita tidak akan melihat sisi baiknya. Demikian juga sebaliknya, kalau kita hanya melihat kebaikannya saja, kita tak akan sadar bahwa orang lain juga manusia biasa yang tak luput dari salah.
Kita harus membiasakan diri untuk berintrospeksi diri. Melalui intropeksi diri ini, kita akan menjadi lebih tahu diri sendiri dengan segala kekurangannya dan mau memperbaiki kekurangan diri sendiri. Selain itu, introspeksi diri ini membantu kita mengurangi sikap merasa paling benar sendiri dan menghakimi orang lain atas dasar penilaian kita sendiri.