Memilih Pemimpin Menurut Buddhis
Pemilu semakin dekat, hingga isu-isu yang berbau politik pun mulai pekat. Hampir setiap hari, media sosial memberitakan isu-isu politik, terutama isu tentang pilpres tahun mendatang. Meskipun secara resmi, calon-calon yang akan diusung untuk maju mencalonkan diri sebagai presiden belum ditentukan, namun publik sepertinya sudah mulai menebak-nebak dan beberapa mendukung sosok tertentu untuk maju di pilpres mendatang.
Publik pun sepertinya sudah semakin tahu taktik politik klasik yang biasa digunakan para calon untuk mencari dukungan. Mulai dari isu-isu yang menjatuhkan lawan, pencitraan diri, dan semacamnya sudah mulai bisa ditebak oleh masyarakat. Masyarakat yang cerdas akan melihat fenomena-fenomena seperti ini dengan cara yang cerdas. Masyarakat yang cerdas bisa belajar dari masa lalu agar tidak jatuh pada lubang yang sama. Masyarakat yang cerdas bisa melihat kualitas-kualitas dari para calon dari hasil kerja nyata dan kontribusinya selama ini, bukan dari hasil promosi mendadak menjelang pemilu.
Kira-kira siapa yang pantas dipilih menjadi Pemimpin nanti?
Baiklah, di sini saya akan memberikan sebuah gambaran pemimpin yang layak dipilih berdasarkan pada teks-teks agama Buddha yang saya dukung dengan opini pribadi.
Kita bisa belajar dari Cakkavattisīhanāda Sutta untuk melihat sosok pemimpin yang ideal. Pemimpin yang dimaksud adalah pemimpin yang lurus atau yang dalam bahasa Buddhis disebut sebagai Dhammiko Dhammarājā. Dia adalah raja atau pemimpin sebuah negara yang menjadikan kebenaran sebagai lambangnya (dhammaddhajo), sebagai benderanya (dhammaketu), dan otoritasnya (dhammādhipateyyo). Dia adalah pemimpin yang menahklukkan bumi berserta lautannya dengan tanpa tongkat, tanpa senjata, tapi dengan kebenaran (So imaṃ pathaviṃ sāgarapariyantaṃ adaṇḍena asatthena dhammena abhivijiya ajjhāvasi).
Di samping dia harus menjadikan dirinya sendiri lurus berdasarkan aturan, dia juga harus menyediakan pengawasan yang benar dan perlindungan untuk semua penduduknya (dhammikaṃ rakkhāvaraṇaguttiṃ). Perlindungan harus diberikan kepada seluruh masyarakat tanpa tebang pilih, baik para pejabatnya, para pemimpin agama yang mengajarkan kemoralan dan kebenaran, para penduduk kota dan desa baik kaya maupu miskin. Semuanya berhak mendapat keadilan yang sama.
Selain menjaga masyarakatnya, pemimpin yang baik harus menjaga alam berserta isinya. Binatang-binatang buas dan burung-burung (migapakkhīsu) harus diberi perlindungan agar keseimbangan ekosistem terjaga. Dia juga adalah pemimpin yang harusnya mencegah kejahatan dan tidak terlibat dalam tindakan kejahatan.
Kūṭadanta Sutta memberi pelajaran penting bagaimana pemimpin harus punya misi menyejahterakan rakyatnya. Kesejahteraan rakyat dan perkembangan ekonomi negara adalah salah satu cara mengurangi tindakan kriminal yang sebagian besar terjadi karena desakan ekonomi. Bagi yang bertani dan berternak harus didukung dengan memberikan bibit dan makanan ternak (ye bhoto rañño janapade ussahanti kasigorakkhe, tesaṃ bhavaṃ rājā bījabhattaṃ anuppadetu). Bagi yang berdagang didukung dengan memberikan modal (Ye bhoto rañño janapade ussahanti vāṇijjāya, tesaṃ bhavaṃ rājā pābhataṃ anuppadetu). Bagi yang bekerja di pelayanan pemerintahan, dibantu dengan pemberian upah yang cukup (Ye bhoto rañño janapade ussahanti rājaporise, tesaṃ bhavaṃ rājā bhattavetanaṃ pakappetu).
Adapun pelajaran penting yang bisa kita ambil dari Jataka. Ada sepuluh kualitas-kualitas baik yang hendaknya dimiliki seorang pemimpin, yaitu:
- Dāna (memberi): seorang pemimpin hendaknya mau berbagi kepada orang-orang yang membutuhkan.
- Sīla (kemoralan): seorang pemimpin hendaknya bertata susila, menjaga moralitas, dan memberikan contoh yang baik untuk masyarakat.
- Pariccāga (altruisme): seorang pemimpin harus memiliki sifat mementingkan kepentingan orang banyak di atas kepentingannya sendiri.
- Ajjava (jujur): seorang pemimpin harus berpegang pada kejujuran dalam memimpin. Ia tidak akan menipu masyarakat demi mendapatkan keuntungan pribadi.
- Maddava (ramah): seorang pemimpin harus ramah dan merakyat pada masyarakat. Ia seharusnya tidak angkuh dengan jabatan yang didudukinya.
- Tapa (mengontrol diri): seorang pemimpin hendaknya mampu mengontrol dirinya sendiri dan bersikap professional dalam menjalankan tugasnya.
- Akkodha (tanpa kemarahan): seorang pemimpin hendaknya bisa mengontrol emosinya dan berusaha mungkin untuk tidak bekerja dengan kemarahan. Dia harus bisa menyikapi masalah dengan kepala dingin.
- Avihimsa (tanpa kekerasan): seorang pemimpin harus memimpin tanpa kekerasan dan mendukung tindakan-tindakan tanpa kekerasan.
- Khanti (kesabaran): seorang pemimpin harus memiliki kesabaran dalam menjalankan tugasnya.
- Avirodhana (tidak merintangi): pemimpin harusnya menghargai masukan dan mau bekerja sama dalam mewujudkan kesejahteraan negara.
Jadi, siapapun dia, kalau dia berpegang pada kebenaran, bertujuan menyejahterakan rakyat dan negara, bermoral, jujur, dan mau memprioritaskan kepentingan rakyat, ia layak dipilih menjadi pemimpin.