Opini Jodoh dalam Agama Buddha
“Kalau berjodoh pasti bertemu. Entah yang duduk di bangku pelaminan atau yang sebagai tamu undangan.” Demikianlah kutipan jodoh.
Berbicara tentang jodoh, banyak orang bilang bahwa jodoh sudah ditentukan. Lalu bagaimana pandangan Buddhisme mengenai jodoh?
Sejauh ini saya belum menemukan kata Pali yang sepadan dengan kata jodoh dengan arti yang sama seperti yang dipahami orang Indonesia. Sepertinya sulit untuk memberikan jawaban bagaimana jodoh menurut Buddhis, apalagi katanya jodoh sudah ditentukan. Pertanyaannya ditentukan oleh siapa? Dan Buddhisme tak akan menjawab siapa-siapa selain dirinya sendiri.
Kalau kita mau merujuk pada kitab Tipitaka, kita tak akan menemukan jawaban langsung mengenai di tangan siapa jodoh itu ditentukan. Namun kita bisa memberikan pendekatan lain yang juga bersumber pada Tipitaka. Kita boleh mengatakan bahwa jodoh itu ada. Tapi yang menentukan diri sendiri. Karma masa lalu kita sendiri yang mempengaruhi bertemunya jodoh. Buddha pernah berkata bahwa bila pasangan suami istri ingin tetap bahagia bersama di kehidupan ini dan kehidupan selanjutnya, mereka harus mempunyai keyakinan yang setara, kemoralan yang setara, kedermawanan yang setara, dan kebijaksanaan yang setara. Dengan begitu mereka akan terlahir kembali di kehidupan selanjutnya di alam yang sama dan berjodoh.
Jodoh ini dapat bertemu dengan diawali perasaan cinta yang begitu kuat di antara keduanya, meski dalam pandangan yang pertama. Ada banyak cerita tentang jatuh cinta pada pandangan pertama. Gak usah jauh-jauh, Pangeran Siddhatta sendiri sudah bejodoh dengan Putri Yasodhara. Makanya keduanya langsung jatuh cinta dalam pandangan yang pertama. Di kehidupan-kehidupan sebelumnya, Putri Yasodhara juga menjadi istrinya. Di zaman Buddha Dipankara, Pangeran Siddhattha terlahir sebagai petapa Sumedha. Putri Yasodhara terlahir sebagai Sumitta. Ketika petapa Sumedha bertekad ingin menjadi Buddha di hadapan Buddha Dipankara, Sumitta-lah yang memberikan bunga teratai kepadanya untuk dipersembahkan ke Buddha Dipankara. Pada saat itu, Buddha Dipankara menyatakan bahwa Sumedha akan menjadi Buddha setelah ribuan kehidupan dan Sumitta akan menjadi pendamping hidupnya sampai ia menjadi Buddha. Cinta dan karma Bodhisatta Siddhatta dengan Putri Yasodhara mempertemukannya kembali di berbagai kehidupan sebagai pasangan hidupnya.
“Kalau berjodoh pasti bertemu. Entah yang duduk di bangku pelaminan atau yang sebagai tamu undangan.” Jodoh bisa mempertemukan cinta hingga pelaminan bahkan hingga mati lagi. Namun jodoh juga bisa bertemu kembali meski tak harus sebagai pendamping hidup. Ambil contoh Nanda dan Janapada Kalyani. Mereka bertemu di kehidupan yang sama, dengan perasaan cinta yang sama, namun ternyata akhirnya Pangeran Nanda memilih menjadi bhikkhu yang disusul oleh Janapada Kalyani. Seperti juga kisah seorang upasika yang begitu dekat dengan bhikkhu dan ada dorongan yang kuat untuk membantu kebutuhan bhikkhu itu hingga mencapai pembebasan. Setelah bhikkhu itu mencapai pembebasan, upasika yang juga sudah mencapai sotapanna itu dengan kekuatan batinnya ia mampu melihat ribuan kehidupannya yang lalu bahwa bhikkhu yang selama ini ia sokong adalah suaminya yang sangat ia cintai di kehidupan lampau.
semoga dikehidupan ini saya bisa bertemu dengan cinta saya dan duduk dipelaminan semoga yg kuasa mengizinkan Amin
ReplyDelete