Film Yoshodhara akhirnya telah dirilis, tersedia di bioskop-bioskop di Sri Lanka. Film ini mengisahkan perjalanan hidup Pangeran Siddhartha dan Putri Yasodhara.
Kisah ini dimulai dari pertemuan Sumedha dengan Sumita di hadapan Buddha Dipankara, di mana Sumedha menyatakan tekad untuk menjadi Buddha dan Sumita bersiap menjadi pendamping hidupnya hingga ia berhasil menjadi Buddha.
Perjalanan cinta pun dimulai dengan kesetiaan dan kerelaan. Beberapa kehidupan telah dilewatinya bersama, hingga mereka berdua akhirnya terlahir di alam yang sama dan di hari yang sama.
Mereka hidup di keluarga kerajaan, dilengkapi dengan kemewahan dan kebahagiaan. Yasodhara atau yang juga dikenal sebagai Bhaddakaccana lahir di keluarga Sakiyan Suppabuddha dan Amita. Sementara Siddhartha lahir di keluarga raja Suddhodana dan Mahamaya.
Kisah cinta mereka dimulai saat Raja Suddhodana mengadakan sayembara, mengumpulkan putri-putri Sakya yang cantik, dan meminta pangeran Siddhartha untuk memilih salah satu untuk dijadikan pendamping hidupnya. Dari sekian banyak putri cantik, pangeran Siddhartha hanya jatuh hati pada Putri Yasodhara dan Yasodhara juga jatuh hati pada saat itu juga. Mereka akhirnya dinikahkan. Namun, kakaknya Yasodhara, Devadatta agak keberatan kalau adiknya menikah dengan Siddhartha, sebab telah terdengar rumor tentang ramalan bahwa Siddhartha akan meninggalkan istana untuk menjadi Buddha kalau ia melihat empat peristiwa - orang tua, sakit, mati, dan pertapa. Di samping itu, Devadatta juga meragukan kemampuan Siddhartha yang terlihat kalem dan tidak suka perang. Akhirnya, Devadatta dan Siddhartha pun dipertemukan untuk beradu kemampuan dalam memainkan pedang. Dan Siddhartha membuktikan bahwa ia mampu dan pantas mendapatkan Yasodhara.
Siddhartha dan Yasodhara akhirnya menikah di usia enambelas tahun. Setelah menikah mereka hidup sebagai pasangan yang romantis, harmonis, dan bahagia. Namun setelah Siddhartha diberikan izin untuk keluar melihat dunia luar istana dan melihat orang tua renta, orang yang sedang kesakitan karena penyakit, Siddhartha menjadi gelisah di dalam istana. Ia gelisah sebab ia dan orang-orang yang dicintainya juga akan mengalami hal yang sama. Di hari berikutnya ia berjumpa dengan orang mati yang digotong beramai-ramai oleh keluarganya dengan penuh kesedihan dan ratap tangis. Siddhartha menjadi sedih. Setelah itu ia bertemu dengan petapa, seseorang yang meninggalkan kehidupan duniawi untuk mengakhiri dukkha.
Setelah melihat pemandangan-pemandangan seperti itu, Siddhartha merasa muak dengan kehidupan duniawi dan ingin meninggalkan kehidupan duniawi untuk menemukan obat supaya terbebas dari kelahiran, ketuaan, kesakitan, dan kematian. Kinginannya pun sudah beberapa kali disampaikan kepada orangtuanya, utamanya istrinya Yasodhara.
Meskipun berat, Yasodhara tidak menolak permintaanya. Namun Yasodhara memohon untuk menemaninya kemana pun ia pergi. Siddhartha menolak, sebab ia akan melakukan perjuangan yang keras dan tak mungkin bisa dilaluinya. Air matanya pun akhirnya tumpah membanjiri pipi cantiknya. Namun Yasodhara sadar dan siap menerima sebab ini adalah konsekuensi yang sudah ia persiapkan dari banyak kehidupan yang lampau.
Saat putra pertamanya lahir, Siddhartha membulatkan tekadnya untuk meninggalkan istana. Ia memanggil Channa dan kudanya untuk bersiap-siap mengantarkannya pergi dari istana secara diam-diam di malam itu juga.
Film ini mengisahkan kepergiaan Siddhartha yang sedikit berbeda. Diceritakan, Siddhartha pergi ke kamar untuk melihat istrinya dan anaknya. Ia mengecup kening istrinya untuk yang terakhir kalinya. Setelah ia turun, istrinya terbangun dan melihat langsung kepergian suaminya meninggalkan istana. Ia menangis namun tidak menghalanginya. Yasodhara berusaha meyakinkan dirinya bahwa Siddhartha pergi untuk kebahagiaan semua makhluk, termasuk dirinya. Ia yakin bahwa Siddhartha pasti akan menjadi Buddha, dan akan menemuinya lagi setelah ia mendapatkan apa yang ia cari. Di malam itu juga, dengan air mata yang membahasahi seluruh wajahnya, Yasodhara melepas kepergian Siddhartha dengan keikhlasan.
Paginya, ketika ditanyai oleh raja tentang kemana Siddhartha pergi, Yasodhara menjawab dengan tegar bahwa Siddhartha telah meninggalkan istana. Raja pun memarahinya karena Yasodhara tidak menghalanginya, malah mengizinkannya pergi, padahal raja sudah susah payah melakukan berbagai cara supaya Siddhartha tetap tinggal di istana dan menjadi raja di masa depan. Yasodhara meyakinkan raja untuk merelakan Siddhartha. Saat raja bermaksud mengutus orang untuk mencari Siddhartha dan membawanya pulang paksa, Yasodhara pun melarangnya karena ini demi kebahagiaan dirinya dan orang banyak. Kalau ia sungguh mencintai anaknya, maka ia harus bisa melepas kepergian anaknya, sebab ini adalah kehendak anaknya sendiri.
Devadatta, setelah mendengar Siddhartha pergi meninggalkan adiknya, pergi ke istana dan memaksa adiknya untuk pulang dan menikah dengan laki-laki lain yang bertanggung jawab. Namun, Yasodhara menolaknya, dan akan selalu setia kepada Siddhartha. Hatinya hanya untuk Siddhartha, bahkan ia tak akan mengijinkan laki-laki lain selain Siddhartha untuk sekadar mencium aroma tubuhnya. Makanya setelah mendengar bahwa Siddhartha sekarang melepas semua perhiasan, makan sekali, Yasodhara akhirnya juga melepas seluruh perhiasannya, memakai kain putih yang sederhana.
Merindukan Siddhartha akhirnya menjadi rutinitas hariannya. Ia selalu memandangi tempat-tempat yang pernah disinggahinya, pakaian-pakaian yang pernah dipakainya, dan mengingat semua kenangan mereka bersama. Namun, biar bagaimana pun ia sadar bahwa itu tak akan terulang. Makanya ia menggantikan seluruh kerinduannya dengan doa-doa semoga Siddhartha selalu mendapatkan kemudahan dan tercapai apa yang ia cari.
Hujan di musim dingin menjadi tak sedingin hari-harinya yang kehilangan hati yang ia cintai. Yasodhara kerap menangis melihat hujan, sebab di luar sana Siddhartha pasti juga kehujanan. Kesedihan semakin bertambah ketika anaknya, Rahula, selau menanyakan kemana ayahnya pergi.
Setelah enam tahun kepergiannya, Yasodhara melihat fenomena alam yang tak biasa. Sebuah daun Bodhi berbentuk cinta terbawa angin memasuki kamarnya dan tergetak di atas barang-barang Siddhartha. Yasodhara menjadi bahagia dan terharu, sebab ia yakin bahwa pada saat itu Siddhartha telah menjadi Buddha.
Di tahun pertamanya setelah pencapaian pencerahan sempurna, Buddha mengunjungi Kapilavatthu ditemani dengan murid-muridnya yang berjumlah dua puluh ribu bhikkhu. Kabar tentang kedatangan Buddha dan murid-muridnya pun terdengar, dan raja pun mempersiapkan untuk menyambut kedatangan Buddha, yang merupakan anaknya sendiri. Yasodhara yang mendengar juga turut bergembira, sebab ia bisa melepaskan kerinduannya dengan pertemuan.
Ketika Buddha memasuki gerbang istana, Yasodhara dengan anaknya mengamatinya dari jendela. Rahula selalu bertanya, yang mana yang merupakan ayahnya. Akhirnya Yasodhara mendeskripsikan Buddha dengan syair-syair indah yang kemudian dinamakan Narasihagatha.
Semua keluarga istana menyambut kedatangan Buddha dengan baik. Namun, Yasodhara tidak mau keluar dari kamarnya, dan akhirnya setelah makan, Buddha sendiri yang mengunjungi ke kamarnya, diantar oleh keluarga istana. Yasodhara terdiam melihat sosok suaminya yang kini telah menjadi Buddha. Ia mendekat ke kaki Buddha dan menundukkan kepalanya di kakinya. Yasodhara menumpahkan seluruh kesedihannya dan kerinduaanya di kaki itu. Air matanya membasahi kakinya. Raja bermaksud menghentikannya, namun Buddha malarangnya dan tetap mengizinkan Yasodhara untuk menangis di atas kakinya semau dia. Akhirnya kerinduan pun dipertemukan namun rasa sakitnya tak akan pulih seperti semula.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)