Thursday, July 26, 2018

INDONESIA TIPIṬAKA CHANTING

0 comments
INDONESIA TIPIṬAKA CHANTING

Indonesia Tipitaka Chanting kembali digelar untuk yang keempat kalinya. Ini merupakan gebrakan baru bagi Buddhisme di Indonesia, sebab di negara-negara Buddhis, seperti Sri Lanka, tidak ada kegiatan semeriah itu. Indonesia Tipitaka Chanting ini sangat berguna dan berlangsung meriah, meskipun sebenarnya saya sendiri belum pernah berpartisipasi secara langsung.



Pengulangan sutta-sutta sebenarnya bukanlah kegiatan yang baru. Di setiap negara Buddhis berbasis Theravada, kegiatan membacakan sutta pada saat chanting bersama sudah berlangsung turun temurun, hanya saja sutta-sutta yang dibacakan hanyalah sutta-sutta pilihan dan tidak menyeluruh.

Pengulangan sutta-sutta secara bersama-sama merupakan cara bhikkhu dahulu dalam mempelajari Dhamma dan juga untuk melestarikan Dhamma. Ketika Tipitaka belum dituliskan ke dalam buku, para bhikkhu mengingat khotbahnya dan mengulangnya kembali supaya tidak terlupakan.




Pengulangan-pengulangan sutta-sutta tidak hanya dilakukan oleh para bhikkhu. Terdapat indikasi bahwa umat awam juga mengingat baik-baik apa yang telah ia dengar dari Sang Buddha. Salah satu contohnya adalah umat awam perempuan yang bernama Khujuttarā. Dia adalah pembantu dari Ratu Sāmāvati, istri dari Raja Udena. Dikatakan setelah ia menjadi Pemasuk Arus setelah mendengarkan khotbah Sang Buddha, ia sering pergi ke Vihara untuk mendengarkan khotbah Sang Buddha dan akhirnya mengulangnya kembali di hadapan para wanita di istana. Kumpulan dari pengulangan-pengulangan Dhamma yang ia sampaikan akhinya dikumpulkan menjadi satu buku yang disebut Itivuttaka, di Khuddaka Nikāya.

Pengulangan sutta-sutta semacam ini dianjurkan Sang Buddha (saṅgayitabbaṃ). Dalam Pāsādika Sutta, Sang Buddha berkata demikian kepada Bhikkhu Cunda:
“Oleh karena itu, Cunda, kepada kalian semua yang kuajarkan kebenaran yang telah kucapai melalui pengetahuan super, harus berkumpul dan membacakannya, menentukan makna demi makna, dan ungkapan demi ungkapan, tanpa perselisihan, dengan tujuan agar kehidupan suci ini dapat berlanjut dan bertahan dalam waktu yang lama demi manfaat dan kebahagiaan banyak makhluk, demi belas kasihan terhadap dunia, dan demi manfaat, keuntungan, dan kebahagiaan para dewa dan manusia.”



Yang harus digarisbawahi di sini adalah para bhikkhu diminta berkumpul bersama (sabbeheva saṅgamma samāgamma), mengulangnya makna demi makna dan ungkapan demi ungkapan (atthena atthaṃ byañjanena byañjanaṃ saṅgāyitabbaṃ) dan tanpa perselisihan (na vivaditabbaṃ) dengan tujuan agar kehidupan suci ini dapat berlanjut dan bertahan dalam waktu yang lama (yathayidaṃ brahmacariyaṃ addhaniyaṃ assa ciraṭṭhitikaṃ).

Dalam kitab komentar, Bhikkhu Buddhaghosa Thero memberikan penjelasan bahwa pengulangan harus dibacakan serentak atau bersama-sama (samaggehi), dengan satu suara (ekavacanehi), tidak dengan kata-kata yang sumbang atau bertentangan (aviruddha-vacanehi). Namun dalam konteks masa sekarang, ini bisa diatasi sebab dalam pengulangan khutbah-khotbah, para bhikkhu membaca teks yang sudah sepakat dan serasi.

Pengulangan-pengulangan khotbah semacam ini sangat bermanfaat, sebab tanpa pengulangan semacam ini, ajaran Buddha tak mungkin bisa bertahan sampai seluruh Tipitaka dituliskan di daun lontar untuk yang pertama kalinya di Sri Lanka di abad pertama. Maka dengan diadakannya Indonesia Tipitaka Chanting ini, tradisi mengulang ajaran Buddha akan tetap lestari dan juga mempersatukan seluruh umat Buddha di seluruh tanah air Indonesia.

No comments:

Post a Comment