Thursday, September 13, 2018

Pengertian Upāsaka / Upāsikā dan Cara Menjadi Upāsaka / Upāsikā yang Baik

1 comments

Pendahuluan

Kata Upāsaka dan Upāsikā sudah dikenal di masyarakat Indonesia dengan baik, khususnya yang beragama Buddha. Umat Buddha rata-rata tahu bahwa Upāsaka adalah sebutan untuk umat Buddha laki-laki dan Upāsikā adalah sebutan umat Buddha perempuan. Namun, banyak yang belum tahu seperti apa Upāsaka dan Upāsikā dalam Tipiṭaka dan kitab komentarnya. Selain itu, ada juga pertanyaan klasik yang sering diajukan umat Buddha tentang bagaimana caranya menjadi Upāsaka dan Upāsikā yang baik, apa saja peraturan yang harus dipatuhi, apakah ada kemungkinan bagi umat awam mencapai tingkat kesucian, dll. Oleh karena itu, artikel ini akan membahas tentang itu, dengan mengacu pada penjelasan dalam Tipiṭaka dan beberapa kitab komentar. 

Empat Kelompok Pengikut Buddha

Dalam agama Buddha, terdapat empat kelompok pengikut (catuparisā), yaitu Bhikkhu, Bhikkhunī, Upāsaka, dan Upāsikā (D. II. 113). Dari empat tersebut dapat dikategorikan lagi menjadi dua, yaitu Pabbajita dan Gharāvāsa. Bhikkhu dan Bhikkhunī adalah Pabbajita atau orang yang telah meninggalkan kehidupan rumah tangga untuk menjalani hidup tanpa rumah sebagai petapa. Upāsaka dan Upāsikā adalah Gharāvāsa atau umat Buddha yang tinggal di rumah dengan hidup sebagai perumah tangga. Umat awam perumah tangga juga disebut gihī atau gahaṭṭha. 

Dari keempat kelompok ini, sebenarnya masih bisa dikategorikan kembali ke dalam kelompok yang lebih kecil dengan mengacu pada penjelasan di Pāsādika Sutta. Berdasarkan usia pentahbisannya, bhikkhu dibagi menjadi tiga, yaitu tua (thera bhikkhu), menengah (majjhima bhikkhu), dan baru (nava bhikkhu). Bhikkhunī juga dikategorikan menjadi tiga seperti halnya bhikkhu. Upāsaka dan Upāsikā pun juga dibagi menjadi dua, yaitu yang hidup selibat (brahmacāri) dan yang menikah (kāmabhogi. D. III. 125-126). 

Dalam literatur Pāli, umat awam diidentifikasikan dengan orang yang memakai pakaian putih (odātavasanā). Namun itu tidak boleh disalahpahami bahwa pakaian putih adalah keharusan bagi setiap umat awam. Pakaian putih memang pakaian yang juga sering dipakai masyarakat negara Buddhis ketika mereka pergi ke vihara, namun itu tidak boleh dipahami sebagai keharusan. 

Arti Upāsaka dan Upāsikā

Kata Upāsaka dan Upāsikā berasal dari kata ‘upāsati’ yang berarti ‘duduk,’ atau ‘upāsana’ yang berarti melayani. Buku tata bahasa pāli Kaccāyana mendeskripsikannya sebagai upāsatīti upāsako. Secara literal ’upāsati’ [upa + ās] berarti ‘yang duduk dekat.’ Lebih luasnya, orang yang mendekatkan dirinya pada Buddha, Dhamma, dan Sangha. Alternatif yang lain adalah ia yang melayani, menghormati, atau memuja Buddha, Dhamma, dan Sangha.

Kata Upāsaka dalam tata bahasa Pāli merupakan kata yang berkelamin maskulin, makanya Upāsaka mengacu pada umat awam laki-laki. Sementara Upāsikā dalam tata bahasa Pāli merupakan kata yang berkelamin feminim, makanya Upāsikā mengacu pada umat awam perempuan. 

Dalam Mahānāma Sutta di kitab Aṅguttara Nikāya, Buddha menjelaskan apa itu Upāsaka. Diceritakan Mahānāma bertanya ke Buddha tentang apa itu Upāsaka. Sebagai jawabannya, Buddha mengatakan, “Dari waktu ketika seseorang menyatakan pergi berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha, sejak saat itu ia adalah upāsaka (Yato kho, mahānāma, buddhaṃ saraṇaṃ gato hoti, dhammaṃ saraṇaṃ gato hoti, saṅghaṃ saraṇaṃ gato hoti; ettāvatā kho, mahānāma, upāsako hotī’’ti. A. V. 220).”

Dalam kitab komentar dari kitab Dīgha Nikāya, Sumaṅgalavilāsinī, Bhikkhu Buddhaghosa Thera memberikan definisi serupa tentang upāsaka. Beliau berkata upāsaka adalah umat perumah tangga yang telah pergi berlindung pada Buddha, Dhamma, dang Sangha (yo koci saraṇagato gahaṭṭho. DA. I. 234). Beliau juga memberikan alasan mengapa ia disebut upāsaka. Alasannya adalah karena ia mengikuti, menghormati, melayani, memuja tiga mustika maka ia disebut upāsaka (ratanattayaṃ upāsanato). Ia yang memuja Buddha, Dhamma, dang Sangha adalah upāsaka (So hi buddhaṃ upāsatīti upāsako, tathā dhammaṃ saṃghaṃ. Ibid.). 

Bhikkhu Dhammapāla Thera, dalam Paramatthadīpanī atau kitab komentar dari kitab Udāna, memberikan pengertian yang tidak jauh beda. Beliau menerangkan bahwa upāsaka adalah seorang pengikut awam atas dasar pengakuannya sebagai pengikut awam di hadapan Buddha dengan tiga perlindungan, menjadi pelaku lima latihan moral, yang mencintai Buddha, Dhamma, dan Sangha sebagaimana miliknya sendiri (Upāsakoti tīhi saraṇagamanehi bhagavato santike upāsakabhāvassa paveditattā upāsako pañcasikkhāpadiko buddhamāmako, dhammamāmako, saṅghamāmako. UdA. 115).

Secara tradisional, seseorang dikatakan sebagai upāsaka atau upāsikā setelah menyatakan diri berlindung pada Buddha, Dhamma, dan Sangha di hadapan Buddha. Tipitaka memuat cerita-cerita di mana perumah tangga datang menemui Buddha dan menyatakan diri berlindung pada Buddha, Dhamma, dan Sangha agar diterima sebagai upāsaka atau upāsikā dengan mengucapkan formula, “Esāhaṃ, bhante, bhagavantaṃ saraṇaṃ gacchāmi, dhammañca, bhikkhusaṅghañca. Upāsakaṃ maṃ bhagavā dhāretu ajjatagge pāṇupetaṃ saraṇaṃ gata’’nti (Vin. I. 16).” 

Buddhisme aliran Theravāda memiliki tradisi tata cara menjadi upāsaka atau upāsikā dengan menyatakan tiga perlindungan dengan syair:

Buddhaṃ saraṇaṃ gacchāmi
Saya pergi berlindung pada Buddha
Dhammaṃ saraṇaṃ gacchāmi
Saya pergi berlindung pada Dhamma
Saṅghaṃ saraṇaṃ gacchāmi
Saya pergi berlindung pada Saṅgha
Dutiyampi buddhaṃ saraṇaṃ gacchāmi
Untuk yang kedua kalinya saya pergi berlindung pada Buddha
Dutiyampi dhammaṃ saraṇaṃ gacchāmi
Untuk yang kedua kalinya saya pergi berlindung pada Dhamma
Dutiyampi saṅghaṃ saraṇaṃ gacchāmi
Untuk yang kedua kalinya saya pergi berlindung pada Saṅgha
Tatiyampi buddhaṃ saraṇaṃ gacchāmi
Untuk yang ketiga kalinya saya pergi berlindung pada Buddha
Tatiyampi dhammaṃ saraṇaṃ gacchāmi
Untuk yang ketiga kalinya saya pergi berlindung pada Dhamma
Tatiyampi saṅghaṃ saraṇaṃ gacchāmi
Untuk yang ketiga kalinya saya pergi berlindung pada Saṅgha


Selain mengucapkan tiga perlindungan, umat awam biasanya juga akan mengulang lima latihan moral (pañcasīla / pañcasikkhāpada) yang dituntun oleh bhikkhu. Lima latihan moral tersebut antara lain:

1. Pāṇātipātā veramaṇī-sikkhāpadaṃ samādiyāmi.
Aku mengambil latihan untuk menghindari pembunuhan makhluk hidup.
2. Adinnādānā veramaṇī-sikkhāpadaṃ samādiyāmi.
Aku mengambil latihan untuk menghindari pengambilan barang yang tidak diberikan.
3. Kāmesumicchācārā veramaṇī-sikkhāpadaṃ samādiyāmi.
Aku mengambil latihan untuk menghindari perbuatan asusila.
4. Musāvādā veramaṇī-sikkhāpadaṃ samādiyāmi.
Aku mengambil latihan untuk menghindari berbohong.
5. Surāmerayamajjapamādaṭṭhānā veramaṇī-sikkhāpadaṃ samādiyāmi.
Aku mengambil latihan untuk menghindari minum minuman keras yang dapat melemahkan kesadaran.

Lima latihan moral (pañcasīla) ini adalah latihan kemoralan yang mesti dilatih oleh umat awam. Selain limat sila ini, ada beberapa peraturan tambahan mengenai etika, yang tertera dalam beberapa sutta. Sigālovāda Sutta adalah gihivinaya atau peraturannya umat awam berkenaan tentang tugas dan kewajiban seseorang dalam hidup bermasyarakat. Hubungan timbal balik antar individu dijelaskan dalam sutta ini. Makanya sutta ini dianggap penting dan merupakan pegangan bagi umat awam yang hidup sebagai perumah tangga. 

Upāsaka dan Upāsikā di Zaman Buddha

Sebelum Sangha berdiri, Buddha telah menerima upāsaka dan upāsikā yang hanya berlindung pada Buddha dan Dhamma. Tapassu dan Bhalluka (atau Tapussa dan Bhallikā) adalah dua murid Buddha umat awam yang berlindung pada Buddha dan Dhamma (dve vācika upāsakā. Vin. I. 4). Setelah Sangha atau komunitas para bhikkhu berdiri, upāsaka dan upāsikā berlindung pada tiga perlindungan, yakni Buddha, Dhamma, dan Sangha. Ayahnya bhikkhu Yasa adalah upāsaka pertama yang berlindung pada tiga perlindungan ini (tevācika upāsaka. Vin. I. 17). Ibu dan mantan istri bhikkhu Yasa adalah upāsikā pertama yang berlindung pada tiga perlindungan ini (tevācikā upāsikā. Vin. I. 18). 

Ribuan umat mulai menjadi pengikut Buddha. Ketika Buddha berkunjung ke Rajagaha untuk yang pertama kalinya setelah pencapaian penerangan sempurna, ribuan umat yang terdiri dari umat perumah tangga dan brahmana, dipimpin oleh Raja Bimbisara, menyatakan diri sebagai upāsaka (upāsakattaṃ pativedesuṃ. Vin. I. 37). Seiring berjalannya waktu, bukan hanya komunitas para bhikkhu yang berkembang pesat, pengikut umat awam pun juga berkembang pesat. Banyak umat yang tertarik dengan Dhamma dan merasa cocok untuk menjalaninya. 

Dalam Chaṭṭhavaggo dan Sattamavaggo di Aṅguttara Nikāya, Buddha menyebutkan beberapa upāsaka dan upāsikā yang memiliki keunggulan tertentu (A. I. 25-26). Di antara pengikut umat awam laki-laki yang lain, Tapussa dan Bhallikā, pedagang, adalah upāsakā pertama yang mengambil perlindungan (Upāsakānaṃ paṭhamaṃ saraṇaṃ gacchantānaṃ). Anāthapiṇḍika, perumah tangga Sudatta, adalah penyokong utama (Dāyakānaṃ). Perumah tangga Citta Macchikāsaṇḍika adalah yang terunggul dalam menguraikan Dhamma (Dhammakathikānaṃ). Hatthaka Ᾱḷavaka adalah yang terunggul dalam empat hal yang menuntun pada persaudaraan (catusaṅgahavatthu), yang antara lain: kemurahan hati (dāna), ucapan ramah (peyyavajja), perbuatan yang bermanfaat (atthacariyā), keseimbangan (samānattatā). Mahānāma, orang Sakya, adalah yang paling unggul di antara umat yang lain (Paṇītadāyakānaṃ). Perumah tangga Ugga, seorang penduduk Vesali, adalah penyokong yang paling menyenangkan (Manāpadāyakānaṃ). Perumah tangga Uggata dari Hatthigama adalah yang terunggul dalam melayani Sangha (Saṅghupaṭṭhākānaṃ). Sūrambaṭṭha adalah yang terunggul dalam keyakinan yang teguh (Aveccappasannānaṃ). Jīvaka Komārabhacca adalah yang terunggul dalam keyakinan kepada seseorang (Puggalappasannānaṃ). Nakulapitā adalah yang terunggul dalam kepercayaan (Vissāsakānaṃ)

Dalam Sattamavaggo di Aṅguttara Nikāya, Buddha menyebutkan daftar pengikut umat awam perempuan yang memiliki keunggulan tertentu. Dikatakan di antara umat awam perempuan yang lain, Sujātā, seorang putri dari Senānī, adalah upāsikā pertama yang mengambil perlindungan (Upāsikānaṃ paṭhamaṃ saraṇaṃ gacchantīnaṃ). Visākhā Migāramātā adalah yang terunggul di antara penyokong perempuan yang lain (Dāyikānaṃ). Khujjuttarā adalah yang terunggul dalam pengetahuan yang luas (Bahussutānaṃ). Sāmāvatī adalah yang terunggul dalam berdiam dengan cinta kasih (Mettāvihārīnaṃ). Uttarānandamātā adalah yang terunggul dalam bermeditasi (Jhāyīnaṃ). Suppavāsā, putri Koliya, adalah yang terunggul dalam memberikan persembahan yang terbaik (Paṇītadāyikānaṃ). Upāsikā Suppiyā adalah yang terunggul dalam merawat yang sedang sakit (Gilānupaṭṭhākīnaṃ). Kātiyānī adalah yang terunggul dalam keyakinan yang teguh (Aveccappasannānaṃ). Ibu rumah tangga Nakulamātā adalah yang terunggul dalam kepercayaan (Vissāsikānaṃ). Upāsikā Kāḷī dari Kulagharikā adalah umat awam perempuan yang terunggul dalam memiliki keyakinan berdasarkan desas-desus (Anussavappasannānaṃ. A. I. 25-26).

Menjadi Upāsaka dan Upāsikā yang Baik

Mahānāma Sutta, memberikan penjelasan sejauh mana seorang upāsaka disebut bermoral. Dikatakan ketika seorang upāsaka menghindari pembunuhan makhluk hidup (pāṇātipātā paṭivirato), menghindari pencurian (adinnādānā paṭivirato), menghindari perbuatan asusila (kāmesumicchācārā paṭivirato), menghindari berbohong (musāvādā paṭivirato), dan menghindari minum minuman keras (surāmerayamajjapamādaṭṭhānā paṭivirato) adalah upāsaka yang bermoral (A. V. 220). Mengacu pada penjelasan ini, Sumaṅgalavilāsinī menyebutkan lima penghindaran (pañca veramaṇiyo) yang mesti dilatih oleh para upāsaka dan upāsika (DA. I. 234), yaitu:
  1. Melatih diri untuk menghindari pembunuhan makhluk hidup (pāṇātipātā)
  2. Melatih diri untuk menghindari mencuri (adinnādānā)
  3. Melatih diri untuk menghindari perbuatan asusila (kāmesumicchācārā)
  4. Melatih diri untuk menghindari ucapan bohong (musāvādā)
  5. Melatih diri untuk menghindari minum-minuman keras yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran (surāmerayamajjapamādaṭṭhānā)


Selain melatih lima macam latihan kemoralan itu, seorang upāsaka seharusnya memiliki penghidupan benar yang sesuai Dhamma, yaitu dengan meninggalkan lima macam perdagangan salah (pañca micchāvaṇijjā pahāya dhammena samena jīvitakappanaṃ), yang antara lain: perdagangan senjata (Satthavaṇijjā), perdagangan makhluk hidup (sattavaṇijjā), perdagangan daging (maṃsavaṇijjā), perdagangan minuman keras (majjavaṇijjā), perdagangan racun (visavaṇijjā. A. III. 208). Lima jenis perdagangan itu disebut micchāvaṇijjā atau perdagangan yang tidak tepat (ayuttavaṇijjā), tidak benar (na sammāvaṇijjā), dan tidak bernilai (asāruppavaṇijjakammānīti).

Dalam kitab Milindapañha, Bhikkhu Nāgasena menjelaskan sepuluh kualitas baik yang dimiliki oleh seorang Upāsaka (dasa upāsakassa upāsakaguṇe. Mlp. 94-95), antara lain sebagai berikut:
  1. Berbagi dalam suka dan duka dengan Sangha (Upāsako saṅghena samānasukhadukkho hoti)
  2. Mengambil Dhamma sebagai pembimbing (Dhammādhipateyyo hoti)
  3. Senang membantu sejauh ia mampu (Yathābalaṃ saṃvibhāgarato hoti)
  4. Membantu menegakkan kembali Sasana atau agama Buddha bila melihat ada kemunduran (Jinasāsanaparihāniṃ disvā abhivaḍḍhiyā vāyamati)
  5. Memiliki pandangan benar, tidak mempercayai hal-hal takhayul dan tanda-tanda yang memberikan keberuntungan (Sammādiṭṭhiko hoti, apagatakotūhalamaṅgaliko)
  6. Tidak berpaling ke guru lain demi kehidupannya (jīvitahetupi na aññaṃ satthāraṃ uddisati)
  7. Menjaga perbuatan melalui jasmani, ucapan dan pikiran (Kāyikavācasikañcassa rakkhitaṃ hoti)
  8. Menyukai keharmonisan antar sesama (Samaggārāmo hoti samaggarato)
  9. Tidak mudah iri hati, tidak menipu dengan menggunakan agama Buddha (Anusūyako hoti, na ca kuhanavasena sāsane carati).
  10. Berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha (Buddhaṃ saraṇaṃ gato hoti, dhammaṃ saraṇaṃ gato hoti, saṅghaṃ saraṇaṃ gato hoti).

Caṇḍāla Sutta dari Aṅguttara Nikāya, memuat penjelasan penting bahwa seorang upāsaka yang baik mestinya memiliki lima kualitas berikut:
  1. Berkeyakinan teguh pada Buddha, Dhamma dan Sangha (Saddho hoti)
  2. Memiliki moral yang baik (sīlavā hoti)
  3. Tidak percaya pada takhayul, tanda-tanda yang menimbulkan keberuntungan (na kotūhalamaṅgaliko hoti)
  4. Percaya pada Karma, bukan tanda-tanda keberuntungan (kammaṃ pacceti, no maṅgalaṃ)
  5. Dia tidak mencari orang di luar yang patut menerima persembahan, ia sendiri melakukan kebajikan di sini (na ito bahiddhā dakkhiṇeyyaṃ gavesati, idha ca pubbakāraṃ karoti. A. III. 206)

Umat awam yang memiliki lima kualitas diatas dikatakan sebagai upāsaka memiliki permata seorang umat awam (upāsakaratana), bunga teratai merah seorang umat awam (upāsakapaduma), dan bunga teratai putih seorang umat awam (upāsakapuṇḍarīka. A. III. 206). Sementara yang memiliki kualitas yang sebaliknya dikatakan sebagai upāsaka yang hina (upāsakacaṇḍālo), kotor (upāsakamalañca), dan paling akhir dari pengikut yang lain (upāsakapatikuṭṭho. Ibid.).

Dalam sebuah sutta, Buddha memberikan sebuah standar (tulā) atau ukuran (pamānaṃ) seorang umat awam yang baik. Patokan atau ukuran seorang umat awam laki-laki yang baik adalah yang seperti perumah tangga Citta atau Hatthaka Ᾱlavaka. Standar atau ukuran seorang umat awam perempuan yang baik adalah yang seperti Khujjuttarā atau Veḷukaṇḍakiyā Nandamātā (S. II. 236). Citta adalah seorang umat awam laki-laki yang dikatakan paling unggul dalam membabarkan Dhamma (Dhammakathika) di antara umat awam laki-laki yang lain (A. I. 26).  Dia juga telah mengembangkan empat Jhāna dan merupakan seorang Anāgami (S. IV. 301). Citta Saṃyutta dari Saṃyutta Nikāya memuat percakapan antara perumah tangga Citta dengan para bhikkhu (S. IV. 281). Hatthaka Ᾱlavaka adalah umat awam laki-laki yang dikatakan terunggul dalam praktik empat hal yang menuntun pada persaudaraan (catusaṅgahavatthu. A. I. 26). Buddha juga memujinya karena memiliki tujuh kualitas yang luar biasa – berkeyakinan (saddho), bermoral (sīlavā), malu berbuat jahat (hirīmā), takut akan akibat berbuat jahat (ottappī), berpengetahuan luas (bahussuto), dermawan (cāgavā), dan bijaksana (paññavā. A. IV. 217). Dia juga seorang Anāgami. Khujjuttarā adalah umat awam perempuan yang dikatakan terunggul dalam pengetahuan yang luas (Bahussuta. A. I. 26). Kitab Itivuttaka adalah penjelasan Dhamma yang diuraikannya kepada Sāmāvatī setelah mendengarnya dari Buddha sendiri. 

Yang terpenting dari sebuah standar atau ukuran dari seorang Upāsaka dan Upāsikā yang baik yang diberikan dalam sutta tersebut adalah kualitas-kualitas baik yang seharusnya juga dimiliki oleh umat Buddha. Jadi menjadi umat Buddha yang baik, bukan hanya menyatakan diri sebagai pengikut Buddha, tetapi juga memiliki pemahaman Dhamma dan juga praktik berdasarkan Dhamma. 

Kesucian Bagi Umat Awam

Kesalahpahaman yang sering dijumpai dalam masyarakat adalah adanya anggapan bahwa ajaran Buddha hanya diperuntukkan untuk orang yang meninggalkan kehidupan keduniawian dan menjadi petapa semata. Tidak untuk umat perumah tangga. Pandangan ini muncul karena orientasi dari praktik Dhamma adalah lenyapnya dukkha, yang teramat sulit direalisasi bagi umat awam yang hidup berumah tangga bersama istri dan anak-anaknya. Beberapa sutta sendiri memang memuat pendapat yang membedakan antara umat perumah tangga dan pabbajita, yang bila disalahpahami akan memunculkan keenganan untuk mempraktikkan Dhamma sebagai umat awam karena merasa mustahil untuk memahami kebenaran. Seperti pernyataan dalam Pabbajjā Sutta, “Hidup sebagai perumahtangga adalah sesak dan diliputi kekotoran. Hidup sebagai petapa adalah bebas seperti udara terbuka (Sambādhoyaṃ gharāvāso, rajassāyatanaṃ iti, abbhokāsova pabbajjā. Sn. 406).” Raṭṭhapala Sutta juga mengisahkan Raṭṭhapala yang enggan hidup sebagai perumah tangga karena merasa hidup sebagai perumah tangga sungguh sulit untuk merealisasi kebenaran dengan sempurna. Menurut Raṭṭhapala, setelah mendengarkan khotbah Buddha, tidaklah mudah hidup sebagai perumah tangga dalam menjalani kehidupan suci, sempurna dan murni seperti kulit kerang yang dipoles (nayidaṃ sukaraṃ agāraṃ ajjhāvasatā ekantaparipuṇṇaṃ ekantaparisuddhaṃ saṅkhalikhitaṃ brahmacariyaṃ carituṃ. M. II. 55).

Dua pernyataan itu kalau disalahpahami akan memunculkan kesalahpahaman bahwa kesucian bagi umat awam perumah tangga adalah mustahil. Namun sesungguhnya, kesucian terbuka bagi siapa saja, meskipun tingkat kesulitannya berbeda-beda. Dengan kata lain, kesucian, bahkan pencapaian arahat pun bisa dicapai oleh umat awam. Dengan catatan umat perumah tangga yang mencapai kesucian arahat, kalau ia tidak menjadi bhikkhu dalam waktu dekat ia akan parinibbāna, tapi kalau ia menjadi bhikkhu, ia bisa melanjutkan hidupnya sebagai arahat (Mlp. 265). Alasan kenapa bisa begitu adalah karena kondisi kehidupan rumah tangga begitu lemah untuk menunjang kearahatan. Meskipun makanan melindungi kehidupan makhluk, makanan juga akan mengambil kehidupan seseorang yang pencernaannya lemah, demikian pula umat awam yang mencapai kearahatan, kalau ia tidak menjadi bhikkhu, karena kondisi yang lemah itu, maka ia akan parinibbāna (Ibid.). 

Tipiṭaka membuktikan bahwa banyak umat awam yang mampu mencapai tingkat-tingkat kesucian hingga arahat. Yasa adalah salah satu contoh umat awam yang mencapai kearahatan ketika masih menjadi umat awam, yang kemudian memutuskan menjadi bhikkhu (Vin. I. 18). Raja Suddhodana, ayahnya Buddha, juga dikatakan mencapai arahat sebelum meninggal (ThigA. 141). Banyak juga umat awam yang mencapai tingkat kesucian Anāgami. Contohnya adalah perumah tangga Citta, yang juga merupakan umat awam yang ahli menguraikan Dhamma sekaligus ditunjuk Buddha standar menjadi umat awam yang baik (S. II. 236). Dalam Mahāvacchagotta Sutta, Buddha sendiri mengatakan bahwa ada jauh lebih dari lima ratus umat awam yang mencapai tingkat kesucian Anāgami (M. I. 491). Ribuan umat awam juga telah mencapai tingkat kesucian Sotāpatti. 

Kesimpulan

Upāsaka dan Upāsikā adalah pengikut Buddha, umat awam, yang hidup sebagai perumah tangga. Menjadi Upāsaka atau Upāsikā, berarti menjadi seseorang yang dekat dengan Buddha, Dhamma, dan Sangha, dengan menghormatinya, memujanya, atau menyokongnya. Menjadi Upāsaka atau Upāsikā berarti menjadi umat Buddha yang siap mengamalkan ajaran Buddha dalam kehidupan sehari-hari. Pañcasīla Buddhis adalah latihan kemoralan yang mesti dilatih bagi setiap umat Buddha. Selain mengkohkan keyakinan pada Buddha, Dhamma, dan Sangha, memiliki moralitas yang baik, Upāsaka atau Upāsikā mestinya dapat hidup sesuai Dhamma dengan tidak melakukan mata pencaharian salah yang tidak sesuai Dhamma. Upāsaka dan Upāsikā berhak mempelajari Dhamma seluas-luasnya dan menerapkannya kedalam praktik. Upāsaka dan Upāsikā yang mempraktikkan Dhamma dengan baik dan benar bisa saja mencapai tingkatan-tingkatan kesucian. Menjadi sotāpanna, sakadāgāmī, anāgāmī atau arahat bukanlah sesuatu yang mustahil bila Upāsaka atau Upāsikā mempraktikkan Dhamma dengan benar. 

Referensi:

Aṅguttara Nikāya: The Numerical Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publication, 2012.
Dīgha Nikāya: The Long Discourses of the Buddha. Trans. Maurice Walshe. Boston: Wisdom Publications, 2012.
Majjhima Nikāya: The Middle Length Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Ñāṇamoli dan Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2009.
Milindapañha: The Questions of King Milinda. Ed. N.K.G. Mendis. Kandy: Buddhist Publication Society, 2007.
Paramatthadīpanī. Trans. Peter Masefield. Oxford: The Pali Text Society, 1994.
Saṃyutta Nikāya: The Connected Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2000.
Sutta-Nipāta. Trans. Hammalava Saddhatissa. London: Curzon Press Ltd, 1985.
Vinaya Piṭaka: The Book of the Discipline. Trans. I. B. Horner. Mahāvagga Vol. IV. London: Luzac & Company LTD, 1971.
Malalasekera, G. P (founder editor-chief). 2011. Encyclopaedia of Buddhism. Vol. VIII. Sri Lanka: The Department of Buddhist Affairs.
Malalasekera, G. P. 2003. Dictionary of Pāli Proper Names. Vol. I & II. New Delhi: Asian Educational Services.

1 comment: