Berpisah dengan orang yang dicintai dan disayangi merupakan penderitaan. Tapi kadar penderitaan yang orang-orang alami berbeda-beda, tergantung seberapa besar ia memiliki kemelekatan terhadapnya. Semakin besar kemelekatan yang seseorang miliki terhadapnya, maka semakin besar pula kadar penderitaan yang akan ia tanggung saat mengalami perpisahan. Sebaliknya, apabila ia tidak begitu melekatinya dan mampu menerima perpisahan sebagai hal yang wajar dalam hidup ini, maka ia bisa melewati kesedihan ini dan membiarkannya cepat berlalu, tanpa perlu terpuruk dalam penderitaan yang berlarut-larut.
Setiap pertemuan pasti akan berakhir pada sebuah perpisahan. Mau tidak mau setiap orang harus memahami ini. Oleh karena itu Buddha seringkali mengajak para siswanya dan umatnya untuk selalu merenungkan kenyataan ini (abhiṇhapaccavekkhaṇa). Dalam Abhiṇhapaccavekkhitabbaṭhāna Sutta, di Aṅguttara Nikāya, Buddha menyebutkan lima hal yang patut direnungkan kerap kali, baik pria maupun wanita, umat awam maupun orang yang telah meninggalkan keduniawian. Salah satunya adalah merenungkan bahwa ‘Segala yang kucintai dan kusenangi wajar berubah dan terpisah dariku (sabbehi me piyehi manāpehi nānābhāvo vinābhāvo’ti. A. III. 72).
Perenungan ini menyadarkan kita bahwa semua yang kita cintai memiliki sifat dapat berubah (nānābhāva). Orang-orang yang kita cintai bisa meninggalkan kita kapan saja. Mereka bisa berubah pikiran dan sikap terhadap kita. Mereka juga selalu berubah menuju ketuaan dan kelapukan. Apabila itu barang, maka barang itu akan mengalami perubahan dan bahkan rusak. Apabila itu manusia atau binatang, ia bisa berubah seiring berjalannya waktu. Selain itu, orang-orang yang kita cintai juga memiliki sifat dapat berpisah (vinābhāva). Entah karena faktor perubahan atau karena faktor usia, orang-orang yang kita cintai bisa meninggalkan kita kapan saja. Barang yang kita sayangi bisa rusak dan tak bisa dioperasikan kembali. Orang-orang yang kita cintai dapat berpisah dari kita. Lebih daripada itu, orang-orang yang kita cintai juga dapat berubah sebaliknya atau berganti dari sikap yang biasanya mereka tunjukkan kepada kita (aññathābhāva). Orang yang begitu kita cintai bisa saja mendadak menjadi orang yang paling tidak kita sukai. Atau sebaliknya, orang yang pada awalnya begitu baik kepada kita, bisa saja mendadak menjadi menyebalkan. Makanya Buddha senantiasa menasihati umatnya untuk merenungkan bahwa segala yang kita cintai dan sayangi, bisa berubah, berpisah, atau bersikap sebaliknya (Sabbeheva piyehi manāpehi nānābhāvo vinābhāvo aññathābhāvo. D. II. 118).
Perenungan ini sangat berguna karena kita memiliki kecenderungan melekati apa yang kita cintai dan membenci apa yang tidak kita sukai. Dengan merenungkan perenungan ini, setidaknya kita memberikan aba-aba pada diri kita sendiri bahwa kelak orang atau barang yang kita cintai dapat berubah dan berpisah dari kita. Dengan begitu kita akan membiasakan diri untuk siap menerima kenyataan sebelum semuanya terjadi. Persiapan menerima kenyataan sangat kita butuhkan di dunia yang sering kali membuat kita tak siap untuk menerimanya. Artinya bahwa, semakin kita siap menerima kenyataan, semakin sedikit ruang bagi kita untuk menderita. Karena orang yang mampu menerima kenyataan dengan baik, ia akan hidup bahagia, tidak terlarut-larut dalam penderitaan. Yang perlu diingat adalah, kita tak bisa mengubah sifat dunia yang selalu berubah. Makanya yang perlu kita lakukan bukanlah menghentikan perubahan, tetapi menyesuaikan diri untuk menerima perubahan sebagaimana adanya.