Salah satu karakteristik dari ajaran Buddha adalah mengundang untuk dibuktikan (ehipassika). Dhamma ajaran Buddha adalah kebenaran yang bisa dibuktikan oleh mereka yang mempraktikkannya. Buddha tak pernah mengajak atau menghasut para umat untuk sekadar menjadi pengikutnya. Buddha mengundang para pendengar untuk membuktikan apa yang beliau ajarkan. Dhamma terbuka lebar-lebar bagi siapapun yang mengujinya. Siapapun yang mempraktikkannya pasti akan memperoleh manfaatnya.
Ajaran Buddha adalah tentang kenyataan. Artinya bahwa dengan memahami ajaran Buddha, berarti seseorang memahami kenyataan dengan benar. Apa yang Buddha ajarkan bukan suatu dogma atau wahyu dari makhluk tertentu. Buddha sendiri yang menemukan kembali ajaran mulia dengan usahanya sendiri. Buddha tidak menerimanya dari makhluk tertentu yang dipercaya kebanyakan orang sebagai penguasa alam semesta. Karena ajarannya adalah murni temuan beliau sendiri, maka sudah jelas beliau telah memahaminya dengan seksama dan telah mencapainya.
Dhamma ajaran Buddha bukanlah sesuatu yang tertutup. Buddha telah membuka lebar-lebar kepada siapapun yang ingin mempelajarinya tanpa harus menjadi pengikutnya. Cara ini tentu berbeda dengan tradisi lain yang menghendaki menjadi pengikut dahulu kemudian baru boleh mempelajarinya. Tidak ada yang dirahasiakan dalam ajaran Buddha. Buddha sendiri telah membentangkan lebar-lebar dan telah menerangkannya dengan jelas sehingga tak ada yang perlu disembunyikan. Semua ajarannya adalah universal yang bisa diselami dan dipahami oleh siapapun.
Kebijaksanaan dan pemahaman yang benar adalah pilar dalam mempraktikkan ajaran Buddha. Tanpa kebijaksanaan seseorang hanya ikutan-ikutan saja. Dan tanpa pemahaman yang benar, seseorang mempraktikan ajaran dengan tujuan yang menyimpang. Kebijaksanaan dan pemahaman yang benar adalah unsur dari keyakinan. Tanpa adanya kebijaksanaan dan pemahaman yang benar, seseorang tak bisa dikatakan memiliki keyakinan (saddha) kepada Tiratana, sebab keyakinan dalam agama Buddha adalah keyakinan yang berdasarkan pengertian benar, bukan keyakinan yang tanpa dasar atau membabi buta.
Dikatakan ajaran Buddha hanya diperuntukkan untuk mereka yang bijaksana, bukan orang-orang yang dungu (paññavantassa ayaṃ dhammo, nāyaṃ dhammo duppaññassa; A. IV. 229). Pernyataan ini berarti bahwa hanya orang-orang bijak yang dapat memahami ajaran Buddha. Sementara orang-orang dungu bisa saja mencela sebab mereka sendiri tak memahaminya. Dan salah satu karakteristik dari Dhamma adalah dicapai oleh mereka yang bijaksana (pacattaṃ veditabbo viññūhi). Maka kebijaksanaan adalah mahkota dalam ajaran Buddha. Kebijaksanaan sangat penting untuk dikembangkan bagi mereka yang ingin memahami ajaran Buddha dengan benar. Oleh sebab itu kebijaksanaan harus dikembangkan dengan berbagai cara. Dalam sebuah sutta dari Aṅguttara Nikāya, bernama Paññāvuddhi Suttaṃ, Buddha menyebutkan empat hal yang dapat menuntun pada tumbuhnya kebijaksanaan. Empat hal tersebut antara lain:
- Bergaul dengan orang-orang yang bijak (sappurisasaṃseva)
- Mendengarkan Dhamma yang benar (saddhammasavanaṃ)
- Pengamatan seksama (yonisomanasikāra)
- Praktik sesuai Dhamma (dhammānudhammappaṭipatti. A. II. 245)
Bergaul dengan orang-orang yang bijak merupakan langkah awal untuk dapat menjadi bijak pula. Dengan bergaul dengan mereka yang bijak, seseorang dapat mempelajari dan meniru sikap dan cara berpikir mereka. Pergaulan yang baik adalah awal untuk memunculkan pandangan yang benar. Dari tiga puluh delapan berkah yang disebutkan dalam Maṅgala Sutta, Buddha mengawalinya dengan pentingnya pergaulan. Dikatakan tidak bergaul dengan orang-orang yang dungu (asevanā ca bālānaṃ) dan senantiasa bergaul dengan para bijaksanawan, (paṇḍitānañca sevanā ) adalah berkah utama (etaṃ maṅgalamuttamaṃ. Khp. 3).
Selain bergual dengan mereka yang bijak, mendengarkan Dhamma atau ajaran yang benar merupakan cara untuk menumbuhkan kebijaksanaan. Mendengarkan Dhamma memberikan banyak manfaat, antara lain: mendengar apa yang belum pernah didengar (assutaṃ suṇāti), mengklarifikasi apa yang sudah pernah didengar sebelumnya (sutaṃ pariyodāpeti), menghilangkan keraguan (kaṅkhaṃ vitarati), meluruskan pandangan (diṭṭhiṃ ujuṃ karoti), dan pikiran menjadi tenang (cittamassa pasīdati. A. III. 248). Dalam hal ini, semakin banyak pengetahuan Dhamma yang seseorang ketahui, ia bisa menjadi semakin bijak dalam menyikapi kenyataan. Ia mendapat wawasan baru dan meluruskan pandangan salah yang mungkin dimilikinya. Dengan begitu, mendengarkan Dhamma yang benar merupakan cara untuk menumbuhkan kebijaksanaan.
Yang tak kalah penting untuk menumbuhkan kebijaksanaan adalah pengamatan dengan seksama atau pertimbangan yang bijak. Buddha sering kali menekankan pentingnya memiliki pengamatan yang seksama saat melakukan atau ingin memutuskan sesuatu. Pekerjaan handaknya dilakukan dengan kehati-hatian dan tidak terburu-buru agar tidak terjadi kesalahan yang fatal. Dengan membiasakan mengamati dengan seksama atau pertimbangan yang bijak, maka kebijaksanaan seseorang akan tumbuh dan berkembang.
Selain itu, praktik sesuai dengan Dhamma juga dikatakan dapat menuntun pada tumbuhnya kebijaksanaan. Selain mempelajari Dhamma, seiring seseorang mempraktikkan apa yang sudah ia pelajari, maka kebijaksanaan seseorang akan menjadi semakin tumbuh dan bekembang. Meskipun belum sempurna dalam mempraktikkannya, kalau ia terus melatihnya maka ia akan menjadi terbiasa dengan praktik Dhamma. Dengan begitu, ia akan mendapatkan banyak manfaat dari mempelajari dan mempraktikkan Dhamma.